Sistem Perburuhan Persulit Upaya Peningkatan Produksi Komoditi Primer
Pemerintah Indonesia mendorong para pelaku usaha untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi sejumlah komoditi primer, dalam koridor kerjasama masyarakat ekonomi Asean 2015 mendatang. Seperti minyak sawit mentah – CPO ,karet alam, dan kopi. Pemerintah juga mendorong agar komoditi primer itu dapat dihilirisasi guna meningkatkan nilai keekonomiannya.
Tujuannya untuk mendongrak produksi dan mendatangkan devisa. Namun keinginan pemerintah sepertinya belum linier dengan upaya pemerintah meningkatkan kualitas tenaga kerja yang memproduksi komoditi primer itu. Terlihat dari sistem perburuhan yang belum mendorong terciptanya kesejahteraan para buruh.
Kordinator Serikat Buruh Indonesia, Erwin Nasution mengatakan sistem pengupahan yang diberlakukan pemerintah untuk buruh perkebunan masih sama dengan sistem perhitungan hidup layak bagi buruh pada umumnya. Padahal banyak kebutuhan dasar buruh yang tidak terpenuhi berdasarkan kompenen hidup layak tersebut. Akibatnya hingga saat ini buruh-buruh perkebunan sawit hanya menerima sekitar 5 persen dari total keuntungan perusahaan. Padahal idealnya sebagai industri padat karya yang menyerahkan nasib dan keberlangsungan produksi para pekerja buruh layak mendapatkan porsi keuntungan hingga 20 persen. Kondisi itu pun membuat buruh tak produktif mengolah lahan perkebunan yang dibebankan kepadanya. Seringkali pula beban yang diberikan kepada buruh terlalu berat dan terpaksa dikerjakan bersama dengan keluarganya yang tergolong minim pengetahuan produksi.
Pengusaha sendiri sebenarnya bisa saja memberikan upah lebih besar dari komponen hidup layak yang diatur pemerintah. Namun hal itu urung dilakukan pengusaha disamping karena cukup tingginya resiko ditengah minimnya sarana dan prasarana industri yang dapat difasilitasi pemerintah pengusaha masih harus berhadapan dengan pungutan liar yang dilakukan oknum pemerintahan.
Saat ini ada sekitar 1,4 juta buruh perkebunan di seluruh Indonesia yang belum mendapatkan upah layak sesuai dengan komponen hidup layak di kawasan perkebunan. Jumlah buruh itu akan 3x lebih banyak lagi jika menghitung keluarga buruh yang terpaksa bekerja tanpa ikatan untuk menyelesaikan beban kerja berlebih yang dibebankan para buruh. AS
You have to be logged in to post comments